Apabila kita mengikuti alur pikir yang sepintas,
melihat adanya aktifitas penggalian pasir yang lokasinya di dalam wilayah Kota
Tasikmalaya, tepatnya di Kelurahan Bantarsari, Cibunigeulis, Sukajaya,
Sukalaksana dan Sukarindik, Kec. Bungursari, hati kecil serta merta akan
menyatakan ketidaksetujuan atas hal tersebut.
Bentang alam yang tadinya subur disertai bukit-bukit
sebagai ciri khas Kota Tasikmalaya secara perlahan tapi pasti akan lenyap.
Lahan-lahan yang tadinya ramah akan resapan air kelak akan berubah menjadi
lahan kedap air.
Namun alur pikiran yang sepintas tadi serta merta pula
harus berubah menjadi pandangan yang arif dan bijaksana mengingat dibalik
penggalian pasir tersembul adanya sumber penghidupan yang menjanjikan bagi
sebagian masyarakat dengan perkataan lain sepanjang pasir yang digali masih
tersedia.
Nah, supaya tidak berpolemik yang berkepanjangan
tulisan ini "ngageuing" kepada pihak -pihak yang berwenang di dalam
pengaturan tata ruang, agar sejak dini segera mengantisipasi mau bagaimana
bentuk reklamasinya agar kelak di dalam bentuk rona akhir terjadi keseimbangan
lingkungan yang relative mendekati nuansa rona awal.
Sebab kalau tidak ada pengawasan dan pengendalian dikhawatirkan perbandingan antara kawasan terbuka hijau dengan ruang tertutup tidak terukur dengan baik.
Sebab kalau tidak ada pengawasan dan pengendalian dikhawatirkan perbandingan antara kawasan terbuka hijau dengan ruang tertutup tidak terukur dengan baik.
Dan lebih jauhnya lagi bagaimana kalau area bekas
lahan galian ditetapkan dengan peraturan derah sebagai kawasan khusus yang asri
dan ramah lingkungan dan salah satunya yang paling penting adalah adanya
kesediaan dari pihak pemilik lahan untuk menyerahkan sekian persen lahan untuk
kawasan ruang terbuka hijau seperti halnya pengembang harus menyediakan lahan
sebesar 2% dari luas lahan untuk jadi pemakaman.
Jadi budaya "kumaha engke" kita luruskan
menjadi "engke kumaha", bisakah? Wallahu Alam. (Sukinta, pemerhati
PSDA)
0 Komentar