GUCiTUM5GSW7BSYoTUCpTSYp
Berita
Update

Beda Tanggapan Rakyat dengan Wakilnya di DPRD Soal Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu Gagasan Gubernur

Ukuran huruf
Print 0
Hilman Wiranata

Tasikplus.com-Lagi mengemuka ragam respons berkenaan munculnya surat edaran (SE) Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, terkait Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu). Pro-kontra beberapa kalangan menanggapinya.

Seorang anggota DPRD Kota Tasikmalaya, menilai isi SE itu berpotensi melegalkan pungutan liar di masyarakat. Surat edaran ini, tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan bertentangan dengan kebijakan larangan pungutan liar yang sebelumnya telah digaungkan Pemprov Jabar.

“Ini bukan hanya berlaku untuk orang dewasa, tapi juga untuk anak-anak. Pungutan di sekolah sudah sangat dilarang karena bisa menjadi tindak pidana,” ucap Wakil Ketua DPRD Kota Tasikmalaya, Hilman Wiranata, kepada awak media masa, Selasa (7/10/25) pagi.

Masih kata Hilman, surat edaran itu secara tidak langsung melegalkan berbagai pungutan liar dengan dalih kepentingan tertentu. Hilman bandingkan, urunan atau iuran sosial sebenarnya sudah ada dalam budaya masyarakat Tasikmalaya, seperti perelek dan iuran penduduk untuk kematian, yang dikelola secara mandiri oleh pengurus sekitar. 

Pun dengan pengelola dana itu oleh ketua RT, ketua RW, dan lurah secara insidental, tilai Hilman berpotensi menimbulkan polemik di masyarakat. Karena tak ada yang menilai siapa yang layak atau tidak mendapatkan bantuan. Ini bisa memicu konflik sosial di lingkungan masyarakat.

Ia kemudian mengimbau pemerintah Kota Tasikmalaya bisa mengkaji adanya program tersebut. Lalu, tak membebani masyarakat dengan pungutan Sapoe Sarebu atau sejenisnya yang dilegalkan melalui kebijakan pemerintah. 

Gimana baiknya
Nandita Rizki (25) seorang ibu muda di Gunungceuri, Kelurahan Tuguraja, Kec. Cihideung, mengungkapkan bahwa iuran sosial serupa itu sudah ada sejak dia masih usia gadis. Sampai hari ini, Nandita sendiri masih aktif membayar iuran sosial tersebut kepada pengurus setempat. 

"Iuran seperti itu mah sudah lama, sejak saya gadis juga udah jalan. Kalau di sini Rp 6000 sebulan per keluarga, dana itu biasanya dipakai keperluan khusus seperti menengok warga yang sakit atau meninggal atau lainnya. 

Dia juga mengaku, tidak mengetahui adanya gerakan yang dicetuskan gubernur Jawa Barat itu. Sejauh ini, dirinya hanya mengikuti peraturan di lingkungan sekitar. "Kalau saya sih gimana baiknya pengurus di sini aja", katanya. 

Senada, Dede Koswara (34), warga Parakanhonje, Kec. Indihiang mengatakan, di wilayahnya, jenis iuran yang diterapkan berbeda-beda, tergantung kesepakatan warga setempat. Iuran tersebut bisa berupa beras ataupun uang tunai, disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi masyarakat. 

“Di sini, kita fleksibel, tidak harus selalu berupa uang. Ada juga di lingkungan RT sebelah yang memberi beras (perelek) sebagai bentuk kontribusi", katanya. 

Dede menambahkan, iuran semacam itu sudah menjadi tradisi sosial yang berjalan lama dan dianggap sebagai bentuk gotong royong antarwarga untuk memenuhi kebutuhan bersama di lingkungan mereka. red/man
Beda Tanggapan Rakyat dengan Wakilnya di DPRD Soal Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu Gagasan Gubernur
Periksa Juga
Next Post

0Komentar




Tautan berhasil disalin