Urgensi Bidik Kemiskinan di Tengah Ikhtiar Cegah Stunting

Opini:

Perpres 72/2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, mengamanatkan jajaran aparatur di kelembagaan yang ditugasi, segera melancarkan langkah-langkah cegah prevalensi stunting. Pemerintah menargetkan penurunan angka stunting nasional saat ini di kisaran 24% menjadi 14% pada 2024.

Pemerintah terlihat serius, memasukan garapan cegah stunting dalam prioritas nasional. Pertimbangannya jika ini tak disikapi serius, berefek pada kesehatan generasi bangsa mendatang. Bagi kelangsungan sumber daya manusia Indonesia kelak.

Stunting mulai akrab dikenal, yakni kondisi anak atau bayi yang mengalami gangguan pertumbuhan tubuh tak normal, dan bisa memengaruhi perkembangan otaknya. Akibat kekurangan gizi kronik dan infeksi berulang.

Kelembagaan yang menerima amanah dari perpres ini dimulai BKKBN yang ditetapkan presiden sebagai ketua Tim Percepatan Penurunan Stunting, bersama Kementerian Kesehatan, Bapenas, Kementerian PUPR, Kementerian Koperasi-UMKM, Kementerian Kesehatan.

Promosi kesehatan dengan fokus edukasi tekan stunting ke masyarakat, di perjalanan 2023 tampak jadi bagian yang dilancarkan BKKBN. Bahkan sosialisasi itu tak sedikit dalam sinergi kegiatan bersama anggota DPR RI Komisi IX di daera-daerah yang jadi target.

Dengan latar belakang pemicu efek kekurangan asupan makanan bergizi, lingkungan tak sehat, kentara korelasi stunting dengan soal kemiskinan di masyarakat. Aspek kemiskinan ini yang semestinya jadi bidikan.

Riset Kesehatan Dasar Indonesia (Riskesdas) tahun 2018 memperkirakan, sekitar 30% anak di bawah usia 5 tahun di Indonesia menderita stunting. Persentase tersebut mengalami sedikit peningkatan dibandingkan survei tahun 2013 yang berkisar 37%.

Konten sosialisasi-edukasi stunting sampai ke berupa stimulasi bantuan, selayaknya diberikan relevan. Di lapangan masih terdengar cerita penerima bantuan makanan tambahan berupa telur dan ayam karkas, bukan keluarga terdera atau berisiko stunting.

Pun selama ini banyak disaksikan kegiatan cegah stunting di tingkat kota/kabupaten lebih jadi bahasan di ruangan, bahasan-bahasan rapat, berkutat angkat konsep-konsep penanganan, seremonial. Selesai di tingkat itu. Gaungnya belum hebat di masyarakat.

Sokongan program garapan pemerintah daerah, terlihat penting diarahkan. Bicara kemiskinan, akan berkait dengan kegiatan lintas sektor., kebutuhan konvergensi Dimulainya dukungan infrastruktur dasar, terpeliharanya simpul-simpul sumber perekonomian warga, dll.

Halnya pelibatan kelembagaan sektor pendidikan, perlu untuk menggemakan pola hidup sehat di kalangan pelajar. Dinas berbina lingkungan-pemukiman masyarakat, untuk dapat menghadirkan pola-pola hidup sehat hingga tanam sayur pada lahan-lahan sekitar rumah.

Ajakan pelibatan seterusnya, terhadap pemimpin-pemimpin informal, seperti pemuka agama. Tersampaikan di pengajian-pengajian masyarakat dan masjid. Mengajak kalangan organisasi dunia usahawan untuk bisa berkontribusi.

Pelibatan intens jaringan aparatur di lapangan, seperti tenaga penyuluh, babinda, babinkamtibmas, dll. Sampai pada pemikiran hadirkan konsep pusat layanan gizi terpadu, singkronisasi program-program, dll. Perlu terus dikembangkan.

Kalau sudah jadi garapan keroyokan seperti itu, pemahaman masyarakat akan stunting tak lama merebak. Urgensi cegah stunting yang jadi bahasan, bisa disepahami. Layaknya program KB (Keluarga Berencana) kini yang sudah dianggap kebutuhan di masyarakat.

Masih perlu langkah panjang menyelematkan generasi bangsa mendatang, terhindar dera stunting. Menuju lahirnya bangsa berkualitas. Sehat fisiknya, cerdas pemikirannya. Terlebih di populasi penduduk yang besar, dalam percaturan global yang makin kompetitif di depan. agus alamsyah




 

0 Komentar