Jelang puncak perayaan HUT Kemerdekaan 2023, di masyarakat merebak pemasangan umbul-umbul, gapura, serta bendera merah putih yang membuat jadi semarak. |
Di Tasikmalaya, sampai pelosok daerah bentang-bentang penyemarak bendera panjang, umbul-umbul, gapura, serta pernik-pernik lain, dengan dominasi warna merah putih terpasang pada banyak tepian jalan. Terlihat spontan-spontan saja, menghadirkan kemeriahan.
Hasrat meramaikan gema peringatan diisi ragam cara. Mulai gelar lomba-loma, hadirkan panggung hiburan. Ada juga kalangan yang mengisinya dengan seremoni syukuran. Memanjatkan doa-doa kebaikan. Di tempat-tempat berupa kantoran, ada lagi cara yang jadi bidikan.
Menghormati kerelaan berkorban para pendahulu berjuang, hingga meraih kemerdekaan, masih tertanam dalam ragam kelas masyarakat Tanah Air sampai sekarang. Bak tak surut di kondisi apapun keadaan bangsa. Dalam pasang-surut capaian perjalanan pemimpinnya dari masa ke masa.
Kemeriahan biasa hingga pengujung Agustus. Kadang ada juga yang masih merayakan agustusan meski bulan sudah berganti ke September. Momentum puncak perayaan biasa diisi upacara bendera pada 17 Agustus. Di pedesaan masih biasa mengonsentrasikan upacara di lapangan kecamatan.
Dalam satu perbincangan dengan sosok tokoh pendidikan, Guru Besar di Unsil, yang kini juga Rektor kampus Unper Tasikmalaya, Prof H Yus Darusman, kepedulian sambut perayaan 17 Agustusan diasumsikan ini sudah jadi kebiasaan.
Bisa jadi juga potret sekarang ini lantaran sudah dikuatkan di masa dulu. Terlepas dengan pemaknaannya seperti apa dan itu bisa saja warga ini datar-datar saja gelar kemeriahaan. Bisa jadi lagi tak fokus-fokus banget tertuju dengan makna-makna terkandung atas sejarahnya.
“Kelihatannya anak-anak muda ini kan gemar dengan hiburan. Sehingga tibanya perayaan ini pun lantas dijadikan untuk berhiburan bersama kawan, rekan, sampai mengupayakan cari anggarannya di jalan”, ungkapnya.
Soal memaknai kemerdekaan, sambung Prof Yus, mereka sudah meyakini sekarang negeri ini sudah merdeka. Tinggal mengisinya dan mengupayakan masing-masing kesejahteraan. “Jelasnya lagi, jadi semarak gelaran ini lantaran sudah jadi tradisi atau kebiasaan,” katanya.
Pegiat budaya, seniman yang juga akademisi, Dr Agus AW, berujar senada saat diminta tanggapan. Yang agak dikritisinya dengan konten perayaan dalam harap ia, sertakan spirit untuk pertahankan kelestarian seni budaya di pertunjukan.
Pada kebanyakan gelar dangdutan yang kadang terkabarkan diwarnai aksi keributan. “Di kampung saya kalau mau 17 Agustusan itu, dari tahun 1974 sampai 1990-an para pemuda mengajak dan direspon cepat warga seiring rasa tanggung jawab, patriotisme, dan cinta Tanah Airnya sambut HUT Proklamasi”, akunya.
Namun sekarang ada gelagat serba ingin instan. Dulu dengan budaya rasa malunya yang tinggi saat ingin memenuhi anggarannya, mereka gelar satu inisiasi, misal dengan gotong royong gelar film misbar bekerja sama dengan kantor Deppen. Ini sudah berbeda dengan suasananya sekarang”, pungkasnya. gus
Hasrat meramaikan gema peringatan diisi ragam cara. Mulai gelar lomba-loma, hadirkan panggung hiburan. Ada juga kalangan yang mengisinya dengan seremoni syukuran. Memanjatkan doa-doa kebaikan. Di tempat-tempat berupa kantoran, ada lagi cara yang jadi bidikan.
Menghormati kerelaan berkorban para pendahulu berjuang, hingga meraih kemerdekaan, masih tertanam dalam ragam kelas masyarakat Tanah Air sampai sekarang. Bak tak surut di kondisi apapun keadaan bangsa. Dalam pasang-surut capaian perjalanan pemimpinnya dari masa ke masa.
Kemeriahan biasa hingga pengujung Agustus. Kadang ada juga yang masih merayakan agustusan meski bulan sudah berganti ke September. Momentum puncak perayaan biasa diisi upacara bendera pada 17 Agustus. Di pedesaan masih biasa mengonsentrasikan upacara di lapangan kecamatan.
Dalam satu perbincangan dengan sosok tokoh pendidikan, Guru Besar di Unsil, yang kini juga Rektor kampus Unper Tasikmalaya, Prof H Yus Darusman, kepedulian sambut perayaan 17 Agustusan diasumsikan ini sudah jadi kebiasaan.
Bisa jadi juga potret sekarang ini lantaran sudah dikuatkan di masa dulu. Terlepas dengan pemaknaannya seperti apa dan itu bisa saja warga ini datar-datar saja gelar kemeriahaan. Bisa jadi lagi tak fokus-fokus banget tertuju dengan makna-makna terkandung atas sejarahnya.
“Kelihatannya anak-anak muda ini kan gemar dengan hiburan. Sehingga tibanya perayaan ini pun lantas dijadikan untuk berhiburan bersama kawan, rekan, sampai mengupayakan cari anggarannya di jalan”, ungkapnya.
Soal memaknai kemerdekaan, sambung Prof Yus, mereka sudah meyakini sekarang negeri ini sudah merdeka. Tinggal mengisinya dan mengupayakan masing-masing kesejahteraan. “Jelasnya lagi, jadi semarak gelaran ini lantaran sudah jadi tradisi atau kebiasaan,” katanya.
Pegiat budaya, seniman yang juga akademisi, Dr Agus AW, berujar senada saat diminta tanggapan. Yang agak dikritisinya dengan konten perayaan dalam harap ia, sertakan spirit untuk pertahankan kelestarian seni budaya di pertunjukan.
Pada kebanyakan gelar dangdutan yang kadang terkabarkan diwarnai aksi keributan. “Di kampung saya kalau mau 17 Agustusan itu, dari tahun 1974 sampai 1990-an para pemuda mengajak dan direspon cepat warga seiring rasa tanggung jawab, patriotisme, dan cinta Tanah Airnya sambut HUT Proklamasi”, akunya.
Namun sekarang ada gelagat serba ingin instan. Dulu dengan budaya rasa malunya yang tinggi saat ingin memenuhi anggarannya, mereka gelar satu inisiasi, misal dengan gotong royong gelar film misbar bekerja sama dengan kantor Deppen. Ini sudah berbeda dengan suasananya sekarang”, pungkasnya. gus
0 Komentar