Di masa pembelajaran daring, opsi
sebagian guru melaksanakan pembelajaran dengan berkunjung ke rumah-rumah murid.
Dikumpulkan anak-anak dalam jumlah lima orang terdekat, berpindah dari satu
kampung/tempat ke tempat lainnya.
Kegiatan belajar mengajar (KBM) siswa di sekolah, saat ini umumnya menerapkan model daring (dalam jaringan) berbasis internet. Pola tatap muka dilarang pemerintah sementara ini seiring upaya pencegahan penyebaran Covid-19. Namun tak urung, opsi daring dijalankan dalam kegamangan efektivitasnya.
Sejak Maret lalu, pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19) menyerang global. Banyak
aktivitas tertahan, memengaruhi dunia ekonomi dan sosial. Kegiatan sekolah atau
lingkungan pendidikan diliburkan. Guna menghindari merebaknya pandemi ini dalam
konsentrasi massa di tempat-tempat pendidikan. Secara perlahan, penerapan
daring di sekolah banyak disoal para orangtua, dalam harap belajar kembali di
sekolah.
Memasuki masa awal tahun ajaran baru 2020-2021, dan sebelumnya
ditandai dengan penerimaan siswa baru, model pembelajaran daring jadi perhatian
para pendidik. Pola ini harus dijalankan sebab jika tidak, mendesing ancaman
sanksi di kalangan sekolah hingga pencopotan kepala sekolahnya.
Umumnya sekolah dalam beberapa hari ini,
menyosialisasikan penerapan pola daring pada para orangtua siswa. Mereka
mengatur jadwal dan teknik pelaksanaannya. Tak lagi menyoal efektif-tidaknya,
kualitasnya seperti apa. Menekankan para orangtua bisa turut membantu anak-anak
banyak belajar di rumah
Namun yang tak terelak dengan soal kesiapan
penerapan model jarak jauh itu, terlebih di daerah, tantangan kepemilikan gadget atau android, hingga data
penyambung jaringan yang belum dimiliki setiap anak. Tak setiap keluarga bisa
memberi smart phone anak lantaran
aspek kemampuan finansialnya.
Buntutnya, pada giliran tugas dari sekolah
diberikan, sebagian anak mengerjakannya, ada juga yang mengacuhkannya.
Penuturan Kepala SMPN 21 di Kec.Tamansari, Kota Tasikmalaya, Bambang Eka Budiman MPd, catatannya masih sangat
banyak anak didiknya yang tak memiliki android memadai.
Akan tak efektif saat dipaksakan model daring.
Ketika menggelar tatap muka, dirinya cukup mendengar ujungnya ada kepala
sekolah yang mendapat sanksi keras. Lantaran tak boleh menggelar KBM seperti
biasa. Dalam pengakuan berikut ia menyebutkan, kemungkinan KBM menerapkan model
campuran.
Disiratkannya, model campuran ini maksudnya, daring
yang sudah jadi perintah tetap dijalankan meski tak cukup yakin dengan
efektivitasnya. Lalu, diadakan juga kegiatan anak hadir ke sekolah sekali
seminggu dengan kedatangan sift,
untuk pemberian bahan tugas belajar di rumah.
Hingga ke soal
kesiapan data
Dalam penelusuran lainnya masih di kecamatan
terujung wilayah selatan Kota Tasikmalaya itu, penuturan Kepala SMPN 15,
Sugiharto MPd, senada ia dengan kepemilikan android siswanya yang belum
menyeluruh, lantas tantangan berikutnya dengan klaim orangtua siswa, tak
selamanya mereka dapat memberi kebutuhan data smart phone.
“Saat pembelajaran daring kita dapati anak tak ikut.
Saat ditanyakan, jawaban yang datang dari orangtuanya mereka sebutkan tak bisa
selamanya memenuhi keinginan anak untuk beli data android. Dari jawaban ini kemudian
kita arahkan anak untuk belajar bersama, bergabung. Belajar berkelompok,” papar
Sugiharto.
Masih dari pernyataan yang tertangkap, tak semudah
meminta peserta didik belajar bareng, sebagian sekadar asal ada. Proses
pendidikan yang seperti asal-asalan. Pemenuhan tugas yang copy paste. Tak sedikit lainnya yang abai. Bahkan kabarnya pun
seperti mereka tak dapati.
Harapan-harapan para orangtua siswa, perlahan mulai
bermunculan di jejaring medsos, untuk tak sebegitu terkungkung paranoid
Covid-19. Di antara permintaan kepada pemerintah, kembali membuka aktivitas
pendidikan di sekolah dengan menerapkan protokol kesehatan yang kini mulai
cukup populer. Seperti selalu memakai masker, jaga jarak, jaga kesehatan dengan
sering cuci tangan.
Mereka sampaikan, tak mudah bagi umumnya orangtua
siswa mengawal anak belajar di rumah. Di samping tak menguasai ilmu
didaktik-metodik, luang waktunya kemudian lebih banyak diisi main. Sebagian
orangtua menduga ketidakefektifan model belajar yang ada ini berimplikasi pada
aspek kualitas yang menurun.
Absennya aspek
mendidik
Harapan itu senada dengan pernyataan Kepala SMPN 12
di Kec.Kawalu, Kota Tasikmalaya, H Eman Suhaeman MPd. Pihaknya bersama
para guru, aku dia, kini tengah fokus mengatur teknis pembelajaran daring.
Namun di sisi lain, dirasanya ada aspek yang absen manakala terus dengan pola
daring ini.
Saat berlangsung pembelajaran anak di sekolah, di
situ mencakup dua hal yang jadi bagian prosesnya yakni, antara aspek mendidik
dan mengajar pada anak. Sekilas yang ia maksud kalau aspek mendidik proses
mendorong kedewasaan anak, menanami nilai-nilai moralitas dari
tauladan-tauladan yang dipesankan.
Sedangkan proses mengajar, berlangsungnya transfer
ilmu pengetahuan, isi buku, konten ajar berdasar kurikulum. Untuk mengayakan
khasanah pikirnya. “Dari model daring ini, sepertinya aspek mendidiknya ini
yang tak jelas. Anak-anak hanya diberi tugas untuk mengerjakan di luar
sekolah,” imbuhnya.
Gamang
Tuntutan KBM daring bak yang penting asal terapkan.
Terlepas dengan tingkat efektivitas atau capaian kualitasnya, dalam klaim ini pilihan
dunia pendidikan di masa darurat. Di jenjang SMP, para pendidik mencatat tantangan
di antaranya di kesiapan kepemilikan gadget dan datanya yang belum bisa merata.
Lain cerita yang terlontar dari pendidik di jenjang
sekolah dasar. Seperti diungkapkan Kepala SD Tirtayasa, Azid Halim SPd, di Kelurahan Setiawargi, Kec.Tamansari. Yang
didapatinya, tantangan masih berkaitan dengan kondisi stabilitas jaringan milik
provaider seluler, belum sesiap layaknya di perkotaan.
Kemudian dilema yang dirasa, model daring tak yakin
siap diterapkan bagi murid-muridnya di kelas awal. Dirinya dihadapkan rasa
gamang. Tuntutan yang ada, tak boleh ada tatap muka. “Saya masih belum bisa
membayangkan, mengajari anak yang baru masuk, kelas I, langsung menerapkan
daring,” katanya.
Kegiatan belajar mengajar (KBM) siswa di sekolah,
saat ini umumnya menerapkan model daring (dalam jaringan) berbasis internet.
Pola tatap muka dilarang pemerintah sementara ini seiring upaya pencegahan
penyebaran Covid-19. Namun tak urung, opsi daring dijalankan dalam kegamangan
efektivitasnya.
Sejak Maret lalu, pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19) menyerang global. Banyak
aktivitas tertahan, memengaruhi dunia ekonomi dan sosial. Kegiatan sekolah atau
lingkungan pendidikan diliburkan. Guna menghindari merebaknya pandemi ini dalam
konsentrasi massa di tempat-tempat pendidikan. Secara perlahan, penerapan
daring di sekolah banyak disoal para orangtua, dalam harap belajar kembali di
sekolah.
Memasuki masa awal tahun ajaran baru 2020-2021, dan sebelumnya
ditandai dengan penerimaan siswa baru, model pembelajaran daring jadi perhatian
para pendidik. Pola ini harus dijalankan sebab jika tidak, mendesing ancaman
sanksi di kalangan sekolah hingga pencopotan kepala sekolahnya.
Umumnya sekolah dalam beberapa hari ini,
menyosialisasikan penerapan pola daring pada para orangtua siswa. Mereka
mengatur jadwal dan teknik pelaksanaannya. Tak lagi menyoal efektif-tidaknya,
kualitasnya seperti apa. Menekankan para orangtua bisa turut membantu anak-anak
banyak belajar di rumah
Namun yang tak terelak dengan soal kesiapan
penerapan model jarak jauh itu, terlebih di daerah, tantangan kepemilikan gadget atau android, hingga data
penyambung jaringan yang belum dimiliki setiap anak. Tak setiap keluarga bisa
memberi smart phone anak lantaran
aspek kemampuan finansialnya.
Buntutnya, pada giliran tugas dari sekolah
diberikan, sebagian anak mengerjakannya, ada juga yang mengacuhkannya.
Penuturan Kepala SMPN 21 di Kec.Tamansari, Kota Tasikmalaya, Bambang Eka Budiman MPd, catatannya masih sangat
banyak anak didiknya yang tak memiliki android memadai.
Akan tak efektif saat dipaksakan model daring.
Ketika menggelar tatap muka, dirinya cukup mendengar ujungnya ada kepala
sekolah yang mendapat sanksi keras. Lantaran tak boleh menggelar KBM seperti
biasa. Dalam pengakuan berikut ia menyebutkan, kemungkinan KBM menerapkan model
campuran.
Disiratkannya, model campuran ini maksudnya, daring
yang sudah jadi perintah tetap dijalankan meski tak cukup yakin dengan
efektivitasnya. Lalu, diadakan juga kegiatan anak hadir ke sekolah sekali
seminggu dengan kedatangan sift,
untuk pemberian bahan tugas belajar di rumah.
Hingga ke soal
kesiapan data
Dalam penelusuran lainnya masih di kecamatan
terujung wilayah selatan Kota Tasikmalaya itu, penuturan Kepala SMPN 15,
Sugiharto MPd, senada ia dengan kepemilikan android siswanya yang belum
menyeluruh, lantas tantangan berikutnya dengan klaim orangtua siswa, tak
selamanya mereka dapat memberi kebutuhan data smart phone.
“Saat pembelajaran daring kita dapati anak tak ikut.
Saat ditanyakan, jawaban yang datang dari orangtuanya mereka sebutkan tak bisa
selamanya memenuhi keinginan anak untuk beli data android. Dari jawaban ini kemudian
kita arahkan anak untuk belajar bersama, bergabung. Belajar berkelompok,” papar
Sugiharto.
Masih dari pernyataan yang tertangkap, tak semudah
meminta peserta didik belajar bareng, sebagian sekadar asal ada. Proses
pendidikan yang seperti asal-asalan. Pemenuhan tugas yang copy paste. Tak sedikit lainnya yang abai. Bahkan kabarnya pun
seperti mereka tak dapati.
Harapan-harapan para orangtua siswa, perlahan mulai
bermunculan di jejaring medsos, untuk tak sebegitu terkungkung paranoid
Covid-19. Di antara permintaan kepada pemerintah, kembali membuka aktivitas
pendidikan di sekolah dengan menerapkan protokol kesehatan yang kini mulai
cukup populer. Seperti selalu memakai masker, jaga jarak, jaga kesehatan dengan
sering cuci tangan.
Mereka sampaikan, tak mudah bagi umumnya orangtua
siswa mengawal anak belajar di rumah. Di samping tak menguasai ilmu
didaktik-metodik, luang waktunya kemudian lebih banyak diisi main. Sebagian
orangtua menduga ketidakefektifan model belajar yang ada ini berimplikasi pada
aspek kualitas yang menurun.
Absennya aspek
mendidik
Harapan itu senada dengan pernyataan Kepala SMPN 12
di Kec.Kawalu, Kota Tasikmalaya, H Eman Suhaeman MPd. Pihaknya bersama
para guru, aku dia, kini tengah fokus mengatur teknis pembelajaran daring.
Namun di sisi lain, dirasanya ada aspek yang absen manakala terus dengan pola
daring ini.
Saat berlangsung pembelajaran anak di sekolah, di
situ mencakup dua hal yang jadi bagian prosesnya yakni, antara aspek mendidik
dan mengajar pada anak. Sekilas yang ia maksud kalau aspek mendidik proses
mendorong kedewasaan anak, menanami nilai-nilai moralitas dari
tauladan-tauladan yang dipesankan.
Sedangkan proses mengajar, berlangsungnya transfer
ilmu pengetahuan, isi buku, konten ajar berdasar kurikulum. Untuk mengayakan
khasanah pikirnya. “Dari model daring ini, sepertinya aspek mendidiknya ini
yang tak jelas. Anak-anak hanya diberi tugas untuk mengerjakan di luar
sekolah,” imbuhnya.
Gamang
Tuntutan KBM daring bak yang penting asal terapkan.
Terlepas dengan tingkat efektivitas atau capaian kualitasnya, dalam klaim ini pilihan
dunia pendidikan di masa darurat. Di jenjang SMP, para pendidik mencatat tantangan
di antaranya di kesiapan kepemilikan gadget dan datanya yang belum bisa merata.
Lain cerita yang terlontar dari pendidik di jenjang
sekolah dasar. Seperti diungkapkan Kepala SD Tirtayasa, Azid Halim SPd, di Kelurahan Setiawargi, Kec.Tamansari. Yang
didapatinya, tantangan masih berkaitan dengan kondisi stabilitas jaringan milik
provaider seluler, belum sesiap layaknya di perkotaan.
Kemudian dilema yang dirasa, model daring tak yakin
siap diterapkan bagi murid-muridnya di kelas awal. Dirinya dihadapkan rasa
gamang. Tuntutan yang ada, tak boleh ada tatap muka. “Saya masih belum bisa
membayangkan, mengajari anak yang baru masuk, kelas I, langsung menerapkan
daring,” katanya.
0 Komentar