Tasikplus.com-Tren flatform digital, saat ini menawarkan hampir segala keperluan. Bersama kemudahan-kelengkapan yang ditawarkannya itu, pun tak ayal basic ini dibidik pihak tak bertanggung jawab melancarkan aksi kejahatan yang merugikan korbannya.
Jejaring digital tak lagi sekadar ruang berinteraksi lewat sosmednya, tak kalah berkembang pesat menjadi ruang transaksional (e-comerce). Mulai tawarkan produk dagangan barang, jual layanan industri jasa keuangan, bahkan sampai judol, dll.
Laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) teranyar ini mencatat, dalam periode Januari-Agustus 2025 ada 18.896 pengaduan orang mengaku jadi korban atau dirugikan orang perbuatan orang yang menyalahgunakan jejaring online. Pada tindakan berikutnya, OJK menghentikan aktivitas 1.841 entitas keuangan ilegal.
"Nilai kerugian korban akibat tergiur investasi ilegal sejak tahun 2017 sampai triwulan I 2025 mencapai Rp 142,13 triliun", sebut Aditya Mahendra, manajer pada Direktorat Kelompok Spesialis Pengawasan Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK.
Mahendra kemudian mengingatkan masyarakat untuk senantiasa berhati-hati bersosmed dengan tindakan pelaku kejahatan di dunia digital. Para pelaku ini lihai menangkap celah lengah bidikan korbannya. Dimulai menawarkan layanan kemudahan satu keperluan, pinjaman online, investasi bodong, dll.
Selanjutnya catatan Mahendra, mereka yang gampang terjebak pelaku kejahatan dumay ini diawali kalangan yang dihinggapi rasa atau suasana kebosanan. Bosen dengan suasana dihadapi. Lalu berselancar untuk melepas penat misal, bepergian wisata ke satu tempat.
Si pelaku kejahatan dunia maya akan menangkap niat pewisata sebagai kesempatan dengan menawarkan ragam fasilitas akomodasi berwisata penuh kemudahan, murah, dan meyakinkan”, sambung Mahendra yang kala itu menjadi pemateri di acara Media Gathering OJK Tasikmalaya dengan insan pers, Senin (21/10).
“Ia tawarkan keperluan akomodasi, pesanan hotel murah, tiket pesawat gampang, sewa-sewa penunjang wisata dan lainnya untuk dipercayakan kepadanya. Setelah melakukan kesepakatan sampai melakukan transfer dana, ujungnya ragam pesanan itu tak ada, orangnya menghilang”, jelas Mahendra.
Faktor lainnya, pelaku memanfaatkan kesempatan seseorang dalam satu konteks keibaan. Ada satu peristiwa musibah atau bencana warga berniat membantu, menitipkan sumbangan untuk disampaikan ke wilayah bencana/musibah, kelompok pelaku mengambil uangnya lalu menghilang. Akunnya tak mudah ditemukan. Kepedulian kemanusiaan tak kesampaian.
"Serangkaian itu, saya pun ingatkan untuk tak asal berikan identitas diri atau nomor telepon dalam perkenalan di sosial media, dengan orang yang dari awal tidak kita kenal", ujarnya sembari menambahkan, banyak kejadian dari pelaku ini memanfaatkan identitas ke perbuatan kejahatan.
Pesan berikutnya Mahendra, jangan sampai terjebak rayuan keakraban untuk perlihatkan video atau foto diri sensitif yang itu bisa dieksploitasi atau jadi alat peras. “Banyak masyarakat terjebak modus pelaku ini awalnya seolah baik, ujungnya pelaku minta bantu atau pinjam uang, ketika tak dipenuhi ia ancam gunakan gambar diri tak senonoh disebarkannya”, pesan Mahendra.
Selanjutnya, faktor ketakutan yang itu juga bisa dimanfaatkan pelaku kejahatan, misal dengan pancingan pengakuan pelaku adalah aparat atau petugas pajak, yang menuduh calon korban punya masalah, punya utang untuk segera dibayar. Jika tak dipenuhi mengancam ia akan memproses hukum. gus




0Komentar