Alun-alun Dadaha Kota Tasikmalaya, dalam proses penyelesaian |
Namun, tak ayal sayup-sayup tersiar, menurut satu sumber, pembangunan alun-alun ini dalam kemungkinan molor tuntasnya. Efek biasa, dari pindah-pindah pihak yang mengerjakan siapa pemenang lelang siapa pelaksana kemudian.
Ada yang masih dalam pikiran heran. Ruang terbuka jadi terganti konstruksi-konstruksi bangunan. Padahal setingkat pemerintahan kota cukup memerlukan lapangan terbuka luas. Mulai untuk gelar even-even penting, pameran, entertain, upacara, dll.
Apalagi Kota Tasikmalaya sejak lama sudah memiliki alun-alun yang berdampingan dengan pendopo bersejarah dalam perjalanan pemerintahan Tasikmalaya. Yang membiaya pembangunan Alun-alun Dadaha, memang pemerintahan provinsi. Tapi yang mengusulkan daerah.
Yang membersit di pemikiran Riyaldi, seorang warga Cipedes, sudah banyak potret kejadian lama. Bangun terwujud, memble pemeliharaannya. Tak jelas siapa yang menjaga instan kebersihan, keamanan, ketertibannya. Lantas para penempat bukan peruntukan menjejerinya.
Bisa menambah deret lokasi tak terkawal, ruang publik kumuh, semrawut, dengan Alun-alun Dadaha kelak. Manakala asal buat. Para penempat area sekitarnya satu per satu mengisi. Perhatian pemkot absen. Merasa tak dilarang. Saat penertiban, riuh.
Lokasinya tak tertib. Lalu lintasnya tersendat. Kemudian ini jadi titik kemacetan, kesemrawutan baru. Klasik! Tatkala sudah klimaks, tak lagi mampu menertibkannya. Lalu, tanggung jawab institusional tersandra klaim tak ada anggaran. Keterbatasan tenaga. gus
Ada yang masih dalam pikiran heran. Ruang terbuka jadi terganti konstruksi-konstruksi bangunan. Padahal setingkat pemerintahan kota cukup memerlukan lapangan terbuka luas. Mulai untuk gelar even-even penting, pameran, entertain, upacara, dll.
Apalagi Kota Tasikmalaya sejak lama sudah memiliki alun-alun yang berdampingan dengan pendopo bersejarah dalam perjalanan pemerintahan Tasikmalaya. Yang membiaya pembangunan Alun-alun Dadaha, memang pemerintahan provinsi. Tapi yang mengusulkan daerah.
Yang membersit di pemikiran Riyaldi, seorang warga Cipedes, sudah banyak potret kejadian lama. Bangun terwujud, memble pemeliharaannya. Tak jelas siapa yang menjaga instan kebersihan, keamanan, ketertibannya. Lantas para penempat bukan peruntukan menjejerinya.
Bisa menambah deret lokasi tak terkawal, ruang publik kumuh, semrawut, dengan Alun-alun Dadaha kelak. Manakala asal buat. Para penempat area sekitarnya satu per satu mengisi. Perhatian pemkot absen. Merasa tak dilarang. Saat penertiban, riuh.
Lokasinya tak tertib. Lalu lintasnya tersendat. Kemudian ini jadi titik kemacetan, kesemrawutan baru. Klasik! Tatkala sudah klimaks, tak lagi mampu menertibkannya. Lalu, tanggung jawab institusional tersandra klaim tak ada anggaran. Keterbatasan tenaga. gus
0 Komentar