Atalia Praratya Kamil bersama Kaper BKKBN Jabar, Kusmana, di satu kesempatan. |
Setiap orangtua, tentu menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Meski begitu, bukan berarti orangtua harus menuntut seorang anak jadi apa yang dikehendakinya. Pada saat tertentu, orangtua dituntut memberikan keleluasaan kepada sang buah hati untuk mengambil keputusan.
Pemaksaan berlebihan
orangtua kepada sang anak, hanya
menjadikannya sebagai semacam racun atau //toxic// yang
merusak relasi orangtua dan anak. Tugas orang tua adalah membimbing dan
mengantarkan sang anak menuju masa depannya.
Demikian salah satu
catatan penting webinar bertajuk “Toxic Parenting” yang berlangsung Rabu siang,
7 Oktober 2020. Webinar diprakarsai Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN).
Menghadirkan
narasumber Bunda Generasi Berencana (Genre) Jawa Barat, Atalia Praratya Ridwan
Kamil, Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pembangunan Keluarga (KSPK) BKKBN
Muhammad Yani, TV One News Anchor Chacha Anisa, dan dosen Fakultas Psikologi
Universitas Islam Bandung (Unisba) Ihsana Borualogo.
“Banyak orangtua
tidak sadar telah mempraktikkan toxic
parenting dalam mendidik anaknya.
Praktik ini kontraproduktif dengan tujuan awal melakukan pendidikan atau
pengasuhan anak,” kata Atalia yang berbicara langsung dari Kota Bogor usai
mengikuti Musyawarah Daerah Gerakan Pramuka Kwartir Daerah Jawa Barat.
Atalia
mengidentifikasi setidaknya terdapat 8
jenis toxic parenting yang kerap dilakukan orangtua. Pertama, egois dan
kurang empati pada anak. Dalam hal ini, orang tua //toxic//
selalu mengutamakan kebutuhan mereka sendiri dan tidak mempertimbangkan
kebutuhan atau perasaan anak. Mereka tidak berpikir tentang bagaimana
perilakunya berdampak pada anak.
Kedua, reaktif
secara emosional. Orangtua toxic bereaksi berlebihan atau mendramatisasi
situasi. Ketiga, mengontrol secara berlebihan. Di sini, orangtua melakukan
kontrol ketat. Sehingga, anak harus melakukan apa yang dikehendaki orangtua
tanpa melakukan kompromi.
Keempat, pola asuh
permisif. Orang tua memberikan kebebasan kepada sang anak untuk melakukan
setiap yang dikehendakinya. “Bebaskeun
wae cenah, Ini juga tidak baik.
Anak-anak dari orang tua yang permisif memang memiliki kebebasan. Tetapi mereka kehilangan periode kritis dalam
mengembangkan keterampilan penting seperti tanggung jawab,” beber Atalia.
Kelima, orangtua kurang
menghargai. Apapun usaha dan hasil yang dilakukan anak, selalu dirasakan
kurang. Orangtua toxic sangat jarang memberikan apresiasi pada anak.
Keenam, menyalahkan dan kritik berlebihan pada anak. Bagi orangtua toxic ini, tak ada sisi baiknya pada seorang anak. Dia akan mencari orang lain untuk
kegagalan atau kesalahan dalam dinamika keluarga.
Orang tua toxic juga
bisa dikenali dari jenis ketujuh ini: menuntut berlebihan. Orang tua seringkali
tidak peduli pada kesanggupan dan kemampuan anak untuk mengerjakan suatu hal.
Akibatnya, anak akan merasa tertekan dan kehilangan rasa percaya diri. Ada lagi
jenis kedelapan: mengungkit apa yang telah dilakukan untuk anak.
“Misalnya, orangtua mengungkit apa yang dikeluarkan untuk anak. Hal ini bisa membuat anak merasa bersalah. Di sinilah pentingnya bagi orang tua untuk mampu mengelola emosi dalam melakukan pengasuhan. Jangan salah, anak itu peniru ulung. Apa yang dilakukan orang tua bisa diikuti oleh anak,” tandas Atalia.
Sebaliknya
Lalu, apa yang harus dilakukan para orang tua agar terhindar dari perilaku toxic? Berkebalikan dari delapan yang tadi. Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Jawa Barat ini berpesan, agar setiap orang mampu menjadi pihak yang mampu meningkatkan kepercayaan sang anak. Sikap ini dibarengi dengan empati tinggi dan berkesinambungan.“Kita, orang tua harus ingat bahwa tidak ada anak yang menguasai semuanya. Sebagian anak menyukai dan pintar matematika tapi lemah untuk seni. Ada juga yang pintar dalam bahasa tapi rendah dalam olahraga. Apapun potensi anak, kita harus memberikan apresiasi. Tidak harus dipaksakan untuk menguasai semuanya,” sarannya. rls/ipkb
0 Komentar